Saham Gorengan: Belajar dari Kasus Jiwasraya
Pasar modal Indonesia sempat ramai dengan adanya kasus PT Asuransi Jiwasraya (belakangan ini kasus Asabri yang mirip Jiwasraya juga banyak dibicarakan) yang membeli saham-saham gorengan di portofolionya.
Jiwasraya adalah perusahaan asuransi, di mana perusahaan menerbitkan produk JS Saving Plan sejak 2013 dengan menawarkan bunga diatas bunga deposito, dan risiko kerugian / investasi ditanggung Jiwasraya. Dengan cara seperti ini, perusahaan tentu memiliki kewajiban yang besar untuk membayar polis asuransi yang ditawarkan pada nasabah.
Jadi dalam hal ini, Jiwasraya membutuhkan modal untuk menutup beban perusahaan dengan cara meningkatkan "Pendapatan Investasi", sekaligus untuk 'mempercantik' laporan keuangannya (window dressing) di akhir tahun.
Salah satu caranya adalah dengan investasi saham. Yang jadi persoalan, mayoritas saham yang dibeli Jiwasraya adalah saham-saham gorengan.
Dan saham-saham gorengan yang dibeli Jiwasraya ini pada akhirnya memberikan dampak yang sangat fatal pada laporan keuangannya. Nilai investasi Jiwasraya di saham2 gorengan turun dari Rp5,6 triliun menjadi sekitar Rp1,4 triliun.
Beberapa saham gorengan yang diinvestasikan Jiwasraya antara lain POLA, TRAM, JGLE, LCGP, PCAR. Kita semua tahu bahwa saham-saham tersebut bukanlah saham yang baik secara fundamental dan likuiditas.
Walaupun saham-saham ini sempat naik sangat tinggi dalam waktu cepat, dan Jiwasraya sebenarnya juga ikut berperan menggoreng saham-saham yang dibeli (dalam hal ini Jiwasraya bukan hanya sebagai korban tapi juga sebagai bandar). Namun karena fundamental perusahaan jelek dan likuiditas rendah, cepat atau lama saham2 jelek tersebut pasti akan turun lagi.
Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap nilai aset (investasi) secara keseluruhan. Inilah yang menyebabkan perusahaan mengalami gagal bayar polis.
Jiwasraya hanya menempatkan kurang lebih 5% investasi saham2nya pada saham blue chip / LQ45, dan sisanya masuk di saham-saham yang berisiko tinggi (saham gorengan).
Sebab kalau perusahaan melakukan investasi di saham-saham blue chip misalnya, di mana banyak saham blue chip yang belakangan ini trennya juga tidak terlalu uptrend, maka kemungkinan besar beban polis asuransinya tidak akan bisa ditutup dari Pendapatan Investasi perusahaan.
Namun karena Jiwasraya telah mengambil keputusan yang salah, dengan membeli saham gorengan, menempatkan investasi dengan tidak berhati-hati (reckless), maka hal inilah justru menjadi bumerang bagi perusahaan sendiri.
Hanya karena Jiwasraya ingin melakukan window dressing, dan menutup beban perusahaan, Jiwasraya nekad "berinvestasi" pada saham-saham yang tidak sehat. Hal ini menunjukkan adanya manajemen perusahaan yang buruk dalam mengelola modal.
BELAJAR DARI KASUS JIWASRAYA
Kita semua sebagai trader saham, bisa mengambil banyak pelajaran penting dari Jiwasraya. Nah, pelajaran apa yang dapat kita ambil dari kasus Jiwasraya ini?
1. Trading / investasi dengan cara yang wajar
Produk JS Saving Plan yang dikeluarkan oleh perusahaan sebenarnya sudah cukup berisiko untuk perusahaan. Perusahaan menawarkan investasi dengan pengembalian bunga diatas bunga deposito, dan risiko kerugian / investasi ditanggung Jiwasraya hanya karena perusahaan ingin mencari banyak nasabah dan mendapatkan nama besar.
Hal ini pada akhirnya menyulitkan perusahaan itu sendiri, dan ujung2nya perusahaan harus mengambil jalan untuk membeli saham2 gorengan, untuk window dressing laporan keuangannya.
Keputusan2 investasi yang tidak dipertimbangkan dengan tepat, akan membuat RASIONALITAS dalam mnengambil keputusan lanjutan menjadi kacau. Hal ini sudah terbukti dari adanya kasus Jiwasraya tersebut.
Sebagai trader / investor, kita juga perlu mengambil keputusan dengan cara yang benar. Jangan gegabah mengambil keputusan trading hanya karena ingin cepat dapat untung.
Jangan berharap untuk cepat kaya dari saham padahal anda belum memahami ilmunya. Akibatnya, anda bisa membeli saham2 yang berisiko, dan tanpa anda sadari hal ini akan membuat modal anda cepat habis.
2. Perusahaan besar saja bisa rugi di saham gorengan... Apalagi kita trader ritel
Saat kasus Jiwasraya menjadi trending topic, saya banyak membaca pendapat2 trader saham: "Perusahaan sekelas Jiwasraya aja bisa nyangkut di saham gorengan, apalagi trader kecil".
Saya sangat setuju dengan kalimat tersebut. Kalau perusahaan besar saja bisa rugi di saham gorengan, apalagi trader perorangan.
Sayangnya banyak trader yang terjebak membeli saham pom pom / saham gorengan melalui rekomendasi2 di grup, dengan iming2 bakalan naik 15%. Padahal trader sendiri tidak tahu apakah saham tersebut layak untuk dibeli atau tidak.
Nah, inilah yang pada akhirnya membahayakan trader. Banyak trader yang terjebak membeli saham gorengan karena ingin dapat untung fantastis dalam waktu cepat, tanpa mempertimbangkan risiko, dan profil trader itu sendiri.
Jadi di dalam trading saham, anda harus berusaha untuk membatasi risiko, salah satu caranya selain menganalisa saham sebelum membeli, anda bisa mengurangi porsi saham2 gorengan.
Tidak ada salahnya anda membeli saham gorengan, namun anda harus menganalisa, membatasi risiko, dan tetap utamakan saham2 low risk di portofolio anda.
Itulah sedikit banyak tentang kasus jiwasraya dan berbagai pelajaran penting yang bisa kita ambil dan evaluasi bersama sebagai trader saham.
Belum ada Komentar untuk "Saham Gorengan: Belajar dari Kasus Jiwasraya"
Posting Komentar